Siapa Yang Mengikutku?

Friday, January 28, 2011

Sejarah Kayan oleh Belaawan Ngerarau

Simbolik Orang Kayan
PENDAHULUAN

Menurut Wikipedia, orang Dayak adalah penduduk asli pulau Kalimantan. "Dayak" merupakan eksonim yang diberikan kepada lebih dari 200 subsuku yang tinggal di pedalaman Kalimantan berdasarkan karakteristik bahasa dan kebudayaan mereka. Ratusan subsuku ini kemudian digolongkan ke dalam beberapa kelompok utama. Salah satu dari kelompok utama ini adalah kelompok Kayan-Kenyah.

Sejumlah literatur mengatakan bahwa orang Dayak telah mendiami pulau Kalimantan sejak lebih dari 2000 tahun yang lalu. Tetapi Kayan dan Kenyah sendiri diperkirakan baru pindah dari daratan Asia (China Selatan) kurang dari 900 tahun lalu. Menurut penuturan orang Kenyah Lepo Taw, raja Akalura* dari Tiongkok mengirim dua kapal ke Kalimantan. Satu kapal, milik nenek moyang orang Kayan, mendarat di Brunei. Kapal yang satunya lagi, milik nenek moyang orang Kenyah, membawa mereka ke sungai Baram (Sarawak) lalu menetap di sana. Itulah sebabnya orang Kayan dan orang Kenyah memiliki banyak sekali kemiripan dalam bahasa dan kebudayaan.

Sebelum abad ke-15, orang Kayan yang telah menetap di Brunei bermigrasi ke wilayah pedalaman Kalimantan. Ada yang menetap di Apo Duat (sekitar gunung Murut dan sungai Baram), ada juga yang ke wilayah Usun Apau (sekitar sungai Tinjar dan Baluy). Gelombang migrasi selanjutnya terjadi dari abad 16-18, di mana orang Kayan memasuki lalu mendiami Apau Kayan, sungai Kayan dan sungai Bahau. Gelombang migrasi terakhir terjadi selama abad ke-18 hingga abad ke-20, di mana mereka menganeksasi wilayah-wilayah baru spt sungai Malinau, sungai Sesayap, sungai Segah, sungai Kelinjau, sungai Telen dan Wehea, sungai Belayan, sungai Mahakam, dan sungai Medalam. Tetapi ada juga orang Kayan yang berbalik arah ke Sarawak lalu menetap di sekitar sungai Baleh, sungai Baluy, sungai Tinjar dan sungai Baram.


SUPREMASI ORANG KAYA:N DI MASA LALU

Dari abad ke-17 hingga akhir abad ke-19, orang Kayan atau Kaya:n (dlm dialek asli) memiliki pengaruh yang luar biasa di Sarawak dan Kalimantan Timur. Mereka dikenal sebagai pemburu kepala manusia (headhunters = ayau kung) yang sangat agresif. Hal ini menyebabkan kawasan yang berada dalam kendali mereka, mulai dari wilayah pantai barat laut (Sarawak) sampai ke pantai timur laut (Berau dan Bulungan) Pulau Kalimantan, berada dalam keadaan teror. Mereka menduduki berbagai wilayah baru, mengganti nama tempat dan sungai, serta menyebabkan berbagai suku2 yang bermukim lebih dulu melarikan diri.

Di wilayah ulu sungai Mahakam, orang Kaya:n membuat orang2 Ot Danum, Bukat, Penihing, Punan, Murut dan Maloh terpaksa menyingkir ke Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah atau memilih tunduk menjadi pengikut orang Kaya:n. Sedangkan Mahakam bagian tengah telah lebih dulu dianeksasi oleh orang Kaya:n yang datang dari sungai Belayan. Hal ini memicu orang2 Tunjung dan Benuaq, yang merupakan penduduk lokal wilayah tersebut, lari ke dataran tinggi dan ke Kalimantan Tengah.

Di bagian utara Kalimantan Timur, orang2 Burusu dan Tenggalan yang menetap di sungai Kayan dan Sesayap, terpaksa menyingkir ke kawasan pantai timur Kalimantan karena mendapat serangan dari orang Kaya:n. Sementara di wilayah Sabah, dimana orang2 Kaya:n sendiri tidak pernah menetap, mereka juga melakukan serangan sengit terhadap orang2 Tidung, Sulu dan Bajau.

Keahlian dan pengalaman berperang, mobilitas yang tinggi, ditambah kemampuan mengumpulkan hasil2 hutan, membuat orang Kaya:n menjadi penguasa sesungguhnya di pedalaman Kalimantan Timur dan Sarawak selama hampir 300 tahun. Tetapi para pemerintah kolonial Spanyol, Inggris dan Belanda hanya bersedia mengakui kekuasaan yang dipegang oleh orang yang bergelar sultan, bukan kekuasaan yang dipegang oleh para kepala suku Kaya:n. Kontrak dagang para kolonial pun hanya dilakukan dengan pihak2 yang diakui kekuasaannya tadi. Karena itulah dalam buku2 sejarah Kalimantan, orang Kaya:n tidak pernah disebut sebagai penguasa di wilayah ini seperti halnya suku Melayu (Brunei, Kutai, Bulungan, Berau) dan Tidung.


SIAPA SEBENARNYA ORANG KAYA:N INI?

Berdasarkan karakteristik bahasa, kultur dan latar belakang sejarahnya, orang Kaya:n terbagi atas tiga kelompok (subgroups):

1). Kelompok Berbahasa Ga'ay/Mengga'ay

Di wilayah sungai Mahakam, yang masuk kelompok ini adalah: Long Glat, Long Huvung Lama dan Keliway. Di wilayah sungai Kayan, ada Seloy/Gong Kiya:n dan Long Ba'un. Di Muara Ancalong ada orang Long Way spt: Long Nah, Melean, dan Long Bentuk. Di sungai Segah ada Long La'ay dan Long Ayan.

Saat ini, dialek asli Long Huvung Lama, Keliway, Melean dan Seloy nyaris hilang karena adanya asimilasi yang panjang dengan berbagi kelompok, spt Bahau, Busa:ng, dll.

Menurut riwayat, ada dua versi yang menjelaskan asal-usul etnonim Ga'ay. Versi pertama, orang Ga'ay sendiri mengatakan bahwa Ga'ay diambil dari "gay" (mandau) karena mereka sering menggunakan mandau ini untuk meng-ayau. Versi kedua menurut orang Kenyah Lepo Taw menyebutkan bahwa Ga'ay berasal dari kata "ba'ay" yang artinya "orang ilir". Karena ketika sama2 tinggal di sungai Baram, orang Lepo Taw menempati wilayah ulu dan orang Ga'ay yang datang kemudian mendiami wilayah ilir atau muara sungai. Bila melihat karekteristik orang Ga'ay yang sangat mahir dalam membuat mandau, suka meng-ayau dan sering menetap di bagian hilir sungai, kedua etimologi di atas dapat diterima.


2). Kelompok Berbahasa Kaya:n

Mereka ini sebagian besar berasal dari sungai Baram bagian selatan dan telah menggunakan endonim "Kaya:n" di sana. Dalam bahasa mereka, "Kaya:n" berarti "tempat kami" atau "wilayah kami".

Saat ini, kelompok berbahasa Kaya:n telah menjadi kelompok yang tersebar luas di Kalimantan. Tengok di Kalimantan Timur, ada Uma:' Suling, Uma:' Lekwe, Uma:' Tua:n, Uma:' Wak, Uma:' Laran, U. Lekan (termasuk U. Lasa:n, U.Teliva', Miau Baru), dll. Sementara di Kalimantan Barat ada Uma:' Aging, Uma:' Pagung, dll. Kelompok Kaya:n ini juga tersebar di berbagai tempat di Sarawak, spt di Sungai Balui, Sungai Baram, Sungai Tinjar, dll.

Dalam kelompok orang2 yang berbahasa Kaya:n ini ada kelompok lain yang menggunakan etnonim berbeda. Mereka menyebut dirinya dengan endonim "Busa:ng", diambil dari tempat tinggal mereka sebelum migrasi ke Apau/Apo Kaya:n, yaitu sungai Busa:ng di kawasan ulu sungai Baram. Okushima menyebut mereka dengan eksonim Kaya:n-Busa:ng.


3). Kelompok Berbahasa Bahau

Kelompok ini yang paling banyak memiliki dialek karena ukuran kampungnya yang kecil-kecil, dan setiap kampung punya dialek sendiri. Yang termasuk kelompok Bahau adalah Hwang Tri:ng, Hwang Siraw, Hwang Anah, dan Hwang Boh di Mahakam. Sedangkan orang Ngorek, lalu Pua' yang mendiami bagian hilir dan tengah sungai Kayan, serta Merap di Malinau, juga termasuk kelompok Bahau. Pada umumnya orang Bahau menggunakan endonim Baw (atau Bao:, Bao, Wehea) ditambah kata "Hwang" (orang) di depannya, mis: Hwang Baw.

Belum jelas benar sejak kapan pertama kali endonim Bahau digunakan. Apakah setelah mereka bermigrasi ke sungai Bahau yang terletak di kawasan utara sungai Kayan atau dibawa sejak dari sungai Baram. Tetapi menurut orang Kenyah, nama asal Bahau adalah "Baw" karena mereka tinggal di dataran tinggi (baw, bao:, bo:, yg artinya "tingi") kawasan Baram.



SATU KELOMPOK BANYAK NAMA

Dalam sejarah orang Kaya:n, sering terjadi kebingungan karena perubahan etnonim, nama tempat dan nama sungai. Hal ini terjadi karena dua sebab:
1). Karena masa yang panjang (berabad-abad) dan pengaruh dialek lokal.
2). Sengaja diubah, misalnya untuk membedakan satu kelompok dari kelompok lainnya atau karena alasan lain.

Etnonim Kaya:n misalnya, dalam berbagai dialek diucap secara berbeda. Orang Melayu menyebutnya Kayan. Sedangkan dalam bahasa Ga'ay, disebut Keji:n (Long Way), Kiya:n (Long La'ay), dan Kejuyn (Long Glat).

Kelompok berbahasa Ga'ay sendiri mendapat berbagai eksonim. Para sultan Bulungan dan Berau memberi mereka eksonim Segai/Segei/Segai-i karena berasal dari sungai Segah. Sedangkan oleh para sultan Kutai, karena sulit melafal Medaeng (Long Way), lalu memberi eksonim Modang. Sementara orang Wehea yang merupakan kelompok Ga'ay-ized Bahau, oleh orang Melayu diberi eksonim Wahau.

Orang Tering yang termasuk dalam kelompok Bahau memakai endonim Hwang Tri:ng. Sementara itu, ada sub kelompok dalam Hwang Tri:ng memakai endonim Tembaw (ita:m baw = kita orang Bahau). Di wilayah Bulungan, orang Bahau memperoleh eksonim Ngorek atau Murik dari orang Kenyah.

Contoh lain lagi adalah orang Kaya:n-Busa:ng yang turun dari Apau Kaya:n ke sungai Mahakam, lalu menetap di kawasan hulu dan tengah. Mereka memakai endonim Bahau Busa:ng untuk membedakan kelompok mereka dari kelompok Bahau yang mendiami Mahakam bagian tengah, spt Hwang Tri:ng, Hwang Siraw, Hwang Anah, dll. Lalu orang Bahau sendiri menyebut kelompok mereka dengan endonim Bahau Sa' (sa'= asli).

Perubahan etnonim terjadi pula pada kelompok Murut (berasal dr Sarawak) yang lebih dulu bermigrasi dan mendiami kawasan ulu sungai Mahakam, tetapi dengan alasan berbeda. Mereka berasimilasi dengan orang Kaya:n yang datang kemudian sehingga menjadi Kayan-ized Murut dan memakai etnonim Kayan. Oleh Okushima, mereka ini disebut Kayan Meka:m. Kampung Long Melaham, Uma:' Urut dan Bang Kelaw termasuk dalam kelompok Kayan Meka:m. Barangkali alasan dibalik perubahan etnonim ini adalah agar mudah beraliansi dan memperoleh proteksi dari orang Kaya:n yang telah mendominasi wilayah tersebut. Nampaknya, perubahan etnonim orang Murut menjadi Kayan ini pula yang menjadi alasan lain bagi orang Kaya:n-Busa:ng memakai endonim Bahau Busa:ng.


DEMOGRAFI SECARA UMUM

Pada umumnya orang Kaya:n mendiami kawasan di sepanjang pinggiran aliran sunggai. Di Kalimantan Timur misalnya, kampung2 orang Kaya:n ada di bagian ulu dan tengah sungai Mahakam, di bagian ilir sungai Kayan dan sungai Belayan, sungai Kelinjau, di ilir sungai Wehea (Wahau) dan sungai Telen, sungai Kelai ilir, sungai Segah, sungai Bahau bagian ulu dan tengah, sungai Malinau, dan sungai Sesayap. Di Kalimantan Barat, mereka menetap di sepanjang sungai Medalam. Sedangkan di Sarawak, kampung2 orang Kaya:n ada di sungai Baram, sungai Baluy, sungai Tinjar, dll.

Total populasi orang Kaya:n saat ini di Kalimantan Timur diperkirakan sekitar 40-50 ribu jiwa. Mereka tersebar di lebih dari 70 desa yg ada di 20 kecamatan dalam 5 kabupaten. Dari sumber2 tidak resmi, di Kalimantan Barat jumlah orang Kaya:n sekitar 2000 jiwa, sementara di Sarawak sekitar 40 ribu jiwa. Bila orang Kaya:n yang ada di luar Kalimantan dimasukkan juga, secara kasar jumlah orang Kaya:n saat ini ada sekitar 100 ribu jiwa atau kurang dari 1% dari total populasi Pulau Kalimantan yang berjumlah sekitar 17 juta (Indonesia dan Malaysia).

PENUTUP

Kaya:n dan Kenyah ibarat dua saudara kandung yang berbeda karakternya. Keluarga Kaya:n yang memiliki tiga anak bernama Ga'ay, Kaya:n dan Bahau, nampaknya cenderung lebih kasar dan agresif dibandingkan saudaranya, Kenyah. Karena itulah dalam sejarahnya, orang Kaya:n sangat suka berperang (meng-ayau) dan menaklukkan berbagai wilayah baru di pedalaman Kalimantan Timur yang didiami berbagai suku, spt Ot Danum, Punan, Bukat, Panihing, Murut, Maloh, Burusu, Tenggalan, Tidung, Tunjung, Benuaq, dan Melayu (Kutai, Berau, Bulungan).

Melihat total populasi orang Kaya:n saat ini yang hanya 100 ribu jiwa, maka 100-400 tahun lalu jumlah mereka dipastikan jauh lebih sedikit lagi, mungkin di bawah 10 ribu jiwa. Meskipun dengan jumlah demikian, orang Kaya:n mampu menguasai kawasan yang luas di Kalimantan Timur dan Sarawak selama ratusan tahun. Sementara total populasi penduduk dalam wilayah taklukan bisa jauh melebihi populasi orang Kaya:n sendiri. Lalu di mana letak kekuatan mereka? Kita akan coba telaah dalam tulisan mendatang.

Ucapan Terima Kasih

1). Terima kasih kepada Ibu Mika Okushima, Ph.D. dari Tokyo, Japan, yang telah berbaik hati mengirim referensi tentang sejarah etnik Kaya:n dan Tidung kepada saya.
2). Terima kasih kepada temanku yg baik hati, Tiopilus Hanye dari Kutai Barat yg telah berbagi foto 1.
3) Terima kasih juga untuk sdr. Fery Sape, temanku yg baik hati dari Pontianak, yg telah berbagi foto dokumentasi 2 & 3 yg sangat langka.


Catatan kaki:
Baik orang Kenyah Lepo Taw maupun orang Ga'ay Long Way, sama2 menekankan bahwa nenek moyang mereka berasal dari Tiongkok. Saat terjadi migrasi ke Pulau Kalimantan, Tiongkok diperintah oleh raja Akalura. Tetapi siapa raja ini? Belum diketahui dengan jelas.


Daftar Istilah

Etnonim
Nama yang diberikan sbg nama suku. Etnonim ada dua kategori: endonim dan eksonim.

Endonim
Nama suatu kelompok/suku yg diberikan oleh para anggotanya.

Eksonim
Nama suatu kelompok/suku yg diberikan oleh orang luar.

Etimologi
Cabang dari ilmu bahasa yg khusus mempelajari tentang asal-usul kata dan evolusi bahasa.

Demografi
Ilmu yg mempelajari karakteristik dan dinamika yg berkaitan dg populasi manusia spt distribusi populasi, laju pertumbuhan, kepadatan, dll.


Referensi

1. Wikipedia http://en.wikipedia.org/

2. Okushima, Mika. "Wet Rice Cultivation and The Kayanic Peoples of East Kalimantan: Some Possible Factors Explaining Their Preference For Dry Rice Cultivation". Borneo Research Bulletin, Vol 30,1999. University of Helsinki, Finland

3. Okushima, Mika. "Ethnohistory of The Kayanic Peoples in Northeast Borneo (part 1): Evidence from Their Languages, Old Ethnonyms, and Social Organization". Borneo Research Bulletin, Vol 37,2007. University of Helsinki, Finland

4. Okushima, Mika. "Ethnohistory of The Kayanic Peoples in Northeast Borneo (part 2): Expansion, Regional Alliance Groups, and Segai Disturbances in The Colonial Era." Borneo Research Bulletin, Vol 39, 2008. University of Helsinki, Finland

5. http://www.wisegeek.com/

Akui Anak Kayan ( Saya anak Kayan)

Dohnyam Kayan ( Perempuan Kayan)

Kaum Kayan merupakan kaum yang tinggal di kawasan hulu Sungai Rajang serta Sungai Baram diBorneo. Mereka dikategorikan sebagai sebahagian dari orang Dayak.
Kaum Kayan mendiami tebing-tebing sungai dengan mendirikan rumah-rumah panjang. Aktiviti yang dilakukan untuk menyara hidup mereka ialah bercucuk tanam, menanam padi sawah, memungut hasil hutan dan menangkap ikan di sungai. Mereka dikategorikan ke dalam golongan Orang Ulu kerana tinggal di kawasan hulu sungai. Budaya mereka agak serupa dengan kaum Kenyah namun berbeza bahasa.

BAHASA

Setiap rumah panjang kaum Kayan yang terdapat di Belaga, bahasa mereka agak lain dan nada pertuturan juga agak berbeza antara satu dengan yang lain.

Selamet jihima- selamat pagi
nun dengah- apa khabar
akui -saya
ikak -awak
nyalam- sayang
liveng/kawah- rindu
sayu- baik
jan-tak
marong-betul
jam-tau
ok tua-sikit saja
kuman-makan
ikem-suka
kanen-nasi
jinun- tak ada
musang-keluar
nun nun tua- apa apa saja
ikem - suka
duya - malas

Kajian sarjana seperti Prentice D.J. (1971) dan lain-lain mengesani bahawa bahasa Kayan memiliki persamaan dengan bahasa Lun Bawang, Kenyah, Kelabit, Tagel dan Tabun sebelum bahasa-bahasa tersebut membentuk ciri-ciri tersendiri. Meskipun wujud beberapa perbezaan dari segi perbendaharaan kata, tetapi kebanyakan merupakan variasi sahaja.

Lain dicakap, lain difahami

Pada suatu hari, saya dan kawan saya bercadang untuk memasak. Menu yang kami pilih adalah masakan tomyam. Inilah pertama kalinya saya memasak tomyam. Berikut merupakan perbualan antara kawan saya dan saya.
Kawan: Semua bahan dah ada ke belum?
Saya    : Dah ada semuanya. Jangan risau.
Kawan: Jangan lupa lada.
Saya     : Lada? Ada ke orang masukkan lada dalam tomyam?
Kawan : Laa. Orang memang masukkan lada dalam tomyam.Tujuannya untuk bagi tomyan
                pedas.
Saya pun menyediakan bahan-bahan untuk memasak tomyam. Dalam banyak-banyak bahan, saya berasa pelik dengan penggunaan lada dalam tomyam. Saya akui saya amat meminati tomyam, tetapi saya tidak pernah pun merasa tekstur lada dalam masakan tomyam ketika saya menikmati tomyam di kedai makan. Hal tersebut menjadi persoalan dalam benak fikiran saya. Saya mengagak kawan saya mencipta menu baru dengan memasukkan lada dalam tomyam.
Ketika memasak.
                Kawan : Mana lada, chris?
                Saya     : La, ni la lada. Lada jenama apa pula yang awak cari lagi?
                Kawan : Bukan lada ni la.Saya maksudkan cili.
                Saya    : Cili??
Inilah pertama kali saya mendengar bahawa lada itu adalah cili. Kalau di Sarawak, lada itu merujuk kepada lada hitam, dan bukannya cili. Cili di Sarawak dikenali sebagai cili, cabik, cabai, dan lain-lain lagi, yang pasti bukan lada.

Saya menyedari bahawa, setiap etnik atau bangsa mempunyai simbolik bahasa tersendiri walaupun mempunyai perkataan atau istilah yang sama. Walaupun perkataan tersebut adalah sama, tetapi makna dari segi gramatikal dan konteks adalah berbeza. Sebaik-baiknya, kita harus memahami bahasa dan budaya orang lain demi pesefahaman yang  jitu yang bukannya berunsurkan asimilasi tetapi menghormati dan menghayati budaya dan bahasa orang lain. 


Lada hitam 
Cili



              



Monday, January 24, 2011

Keliru atau Takut atau Malu atau Langsung Tidak Tahu?


Apabila keliru, dahi berkerut

Kebiasaannya, kita akan memberi salam mahupun bertanyakan khabar sekiranya kita terserempak atau terjumpa dengan mana-mana kenalan, mahupun orang yang kita kenal sebagai tanda keakraban atau apa yang lebih penting lagi sebagai tanda hormat. Bak kata pepatah, budi bahasa budaya kita.
Saya tahu bahawa menegur seseorang, sama ada memberi salam mahupun bertanya khabar adalah satu cara kita mengambil berat dan menghormati orang lain. Selalunya saya sememangnya akan menyapa orang yang saya kenali walau hanya mengucapkan selamat pagi sahaja (bergantung pada keadaan sama ada pagi, tengah hari, petang mahupun malam). Paling tidak pun, saya akan memberi senyuman kepada orang tersebut.
Namun, terus terang saya katakan, saya jarang menegur mahupun menyapa pensyarah di fakulti, terutamanya di fakulti bahasa. Salah satu sebabnya, saya langsung tidak mengenali sebilangan pensyarah di fakulti saya. Ada bisikan hati mendorong saya untuk menegur dan memberi salam tetapi saya malu dan paling menyedihkan, saya langsung tidak tahu-menahu tentang jawatan dan gelaran yang disandang oleh mereka. Oleh sebab itulah, saya kecelaruan membuat keputusan untuk bertindak.
Pernah sekali saya terdengar perbualan antara pensyarah fakulti saya yang menyatakan bahawa kelakuan pelajar-pelajar yang bagi kurang beradap semasa berurusan dan berulang-alik di fakulti yang langsung tidak menegur pensyarah dan mengambil langkah buat tidak tahu atau tidak ambil kisah. Untuk pengetahuan, salah satu sebab yang paling utama adalah kebanyakan pelajar termaksuklah saya tidak tahu tentang gelaran dan panggilan yang disandang oleh pensyarah. Sememangnya, saya mengakui bahawa perbuatan saya amat mengecewakan tetapi realitinya, saya takut kesilapan panggilan yang saya guna mungkin menyebabkan pensyarah marah dan berkecil hati.
                Pensyarah yang mengajar kursus Pembangunan Modal Insan semester ini, pernah menyatakan bahawa Ketua Jabatan di fakulti saya bercadang untuk melancarkan suatu program yang dinamakan Program Berbudi Bahasa ( kalau tidak silap saya) tetapi yang pasti, program tersebut menuntut pelajar untuk membudayakan nilai positif dan berbudi bahasa semasa membuat urusan di fakulti. Bagi saya, wajarlah program tersebut dilaksanakan dan seboleh-bolehnya, ada juga program ramah mesra bersama pensyarah yang boleh mewujudkan persahabatan antara pelajar dan pensyarah sekali gus dapat menguraikan sedikit keregangan antara satu sama lain.
           Saya juga sedar bahawa saya juga bersalah kerana mengambil ringan dalam perkara sebegini. Sepatutnya, saya mengambil tahu juga tingkat akademik, gelaran dan senarai pensyarah yang berkhidmat di fakulti bahasa. Walaupun bukan berkata-kata, tetapi dengan memberi senyuman sudah memadai walaupun tidak mengenali pensyarah sebagai tanda hormat.

                

'Ko Lawan Saya'

          Lihat sahaja pernyataan di atas sudah tentu pembaca memikirkan bahawa pernyataan tersebut berunsurkan sesuatu tujuan yang negatif, dengan erti kata lain seperti berbaurkan pergaduhan. Tiada yang betul, dan tiada yang salah. Realitinya, pernyataan tersebut bergantung pada si pemakainya dan situasi penggunaannya sekaligus intonasi pelafazannya. Boleh jadi pernyataan tersebut digunakan oleh seseorang dalam pergaduhan, atau kemungkinan penutur yang bermaksudkan orang yang ditujunya adalah pesaingnya.
                Namun, untuk penulisan kali ini, saya mengutarakan tentang penggunaan kata ganti diri pertama, iaitu merujuk kepada orang itu sendiri yang bercakap. Dalam konteks penggunaan kata ganti nama diri ‘ko’ sedikit sebanyak menimbulkan sensitiviti kepada diri saya sendiri. Mungkin disebabkan saya seorang yang sensitif. Penggunaan kata ganti nama diri ‘ko’ banyak digunakan dan cukup sinonim dengan rakyat Sabah dalam komunikasi harian mereka. Dan tidak dapat dinafikan bahawa penggunaan ‘ko’ sudah sebati dalam kehidupan mereka. Pada mulanya, saya beranggapan bahawa penggunaan ‘ko’ hanya diaplikasikan dalam drama-drama yang selalunya dibahasakan oleh remaja dan samseng.  Rupa-rupanya, ada yang mengaplikasikan penggunaan ‘ko’ dalam dunia realiti. Pertama sekali saya berkomunikasi dengan pelajar daripada Sabah ketika mula menuntut di UPSI.
                Saya berkenalan dengan seorang penuntut daripada Sabah. Jadi, kami saling berkenalan antara satu sama lain.
Ko orang mana?’
Saya orang Sarawak. Awak?
Sa sabah. Ko kos apa?
                
               Pada mulanya, saya terasa hati kerana pertanyaan kawan baru saya tersebut agak kasar bagi saya, gara-gara dia membahasakan orang lain dengan menggunakan ‘ko’. Saya menceritakan hal tersebut dengan kawan senegeri. Dia turut mengalami perasaan dan tanggapan yang sama. Namun, hakikatnya, sudah menjadi lumrah dan budaya mereka (orang Sabah) menggunakan ‘ko’ dalam komunikasi dan saya baru dapat menerima seadanya dan memahami budaya mereka setelah lama bergaul dengan mereka. Kadang kala, apabila saya memikirkan perkara tersebut, agak melucukan kerana bertanggapan sebegitu kepada mereka sedangkan penggunaan ‘ko’ tersebut sememangnya dari azali lagi penggunaanya dalam kehidupan mereka yang berbeza denganb budaya dan kehidupan saya di Sarawak. Ada kebenaran dalam pepatah Melayu mengatakan bahawa, lain belalang, lain padangnya, lain orang lain ragamnya. Janganlah kita mementingkan diri semata-mata, tanpa mengambil kira keadaan atau situasi sebenar orang lain yang berbeza bahasa dan budaya. Kita harus saling memahami dan berkompromi antara satu sama lain. Bahasa cerminan bangsa!

Sunday, January 23, 2011

Penggunaan Singkatan

Pada zaman serba moden ini, budaya menggunakan bahasa singkatan sememangnya sebati dalam pergaulan seharian, iaitu dalam konteks sosial dan komunikasi. Hasil daripada bahasa singkatan, mengundang kepada budaya khidmat pesanan ringkas atau short message service, ruangan perbualan atau chat seperti dalam Yahoo Messanger, Facebook, Twitter, dan banyak lagi laman sosial internet. Secara jujurnya saya mengakui bahawa saya juga tergolong dalam  golongan yang menggunakan bahasa singkatan dalam aktiviti sosial saya. Pernah suatu ketika saya tersalah faham dalam mentafsirkan makna singkatan. Hal ini berlaku ketika saya meluangkan masa dalam laman Facebook. Salah seorang pengguna Facebook, orang yang tidak dikenali, telah menegur saya dalam laman tersebut.  Dia menulis komen di ruangan laman saya dan kami saling berbalas komen. Dalam banyak-banyak komen, saya terkejut apabila ‘kawan baru’ saya itu menulis komen yang bertulis:
Jom sex
Sejurus saya membaca komen tersebut, saya berasa sangatlah marah kerana ‘kawan baru’ saya tersebut tegar menulis komen seumpama itu dan tidak menghormati saya. Tanpa berfikir panjang, saya memarahi ‘kawan baru’ saya  itu. ‘Kawan baru’ saya menjelaskan bahawa dia tidak bermaksudkan seperti yang saya tafsirkan. Setelah itu, barulah saya sedar bahawa saya terburu-buru menganalisis makna singkatan tersebut dan telah terlanjur menyerang kawan saya tanpa usul periksa. Rupa-rupanya komen tersebut tidaklah seperti yang saya fikirkan. Realitinya, saya telah menyalahtafsirkan makna perkatan tersebut.
                Jom sex bukan membawa makna melakukan perbuatan haram tetapi sebenarnya membawa maksud ‘jom se+X’..’X’ membawa pengertian kali. Jadi, jika imbuhan se digabungkan dengan ‘x’ yang mewakili kali, akan menjadi sekali ; sex.
                Sebaik-baiknya, gunalah singkatan yang tidak menimbulkan sebarang konotasi negatif, lebih-lebih lagi yang membawa makna bertindan seumpama situasi diatas agar mengelak daripada salah faham dan salah tafsir yang boleh mengundang impak negatif dalam konteks sosial, khususnya.


Saturday, January 15, 2011

Percubaan dalam Pemprosesan

Salam satu Malaysia,

Akhirnya, blog telah berjaya saya hasilkan. Saya telah mengambil masa selama 3 hari mencuba dan memproses blog saya ini bermula pada 13 Januari dan akhirnya siap dibina pada hari ini. Hakikatnya, saya agak keberatan membina blog kerana bertanggapan blog perlu diperbaharui isi kandungannya saban masa mahupun saban hari. Namun, secara profesional, aku membinanya atas dasar akademik, iaitu bagi kursus BML 3073 Sosiolinguistik Melayu pada semester ini, merangkap salah satu tugasan individu yang diamanahkan oleh pensyarah saya. Di dalam blog ini, saya akan menggunakan sepenuhnya bahasa Melayu baku, memandangkan saya juga merupakan bakal guru bahasa Melayu. Saya berharap saya dapat melaksanakan tugasan saya sebaik-baiknya dan memperoleh nilai tambah daripada pembinaan blog ini. Sekalung penghargaaan diucapkan kepada kawan-kawan yang berkongsi idea dan pengalaman sepanjang pembinaan blog saya. Jasa kalian dikenang. Selamat berblog.

Sekian.